Berakit-rakit ke hulu, yuk mari kita gotong royong
Lama nggak nyentuh blog, kini saatnya bahas film Kim Jiyoung!
Aseeek
Halo semua! Seneng banget akhirnya bisa kembali menyediakan waktu dan tenggelam dalam dunia menulis dan blogging. Kayaknya udah lebih dari 3 bulan deh, aku nggak ngeblog HEHE. Maafkan aku yang (sok) sibuk ini ya! Maklum, orangnya baru rajin ngeblog tiap kali habis perpanjang domain HIHIHI
Nah di tulisan kali ini, aku ingin berbagi tentang film yang baru aja kutonton. Mumpung masih anget di kepala pun tiketnya masih nyata sobekannya. Yup! Seperti pantun di atas (iya, itu yang di bagian pembuka) kali ini aku mau bahas film Kim Jiyoung Born 1982. TAPI mau disclaimer dulu ya, di tulisan ini, aku nggak akan me-review filmnya. Apalagi ngomentarin betapa pelukable Gong Yoo sebagai seorang bapak di sana. Toh bukan anak yang ngerti film apalagi penggemar garis keras, tapi di sini aku ingin sharing soal pendapatku sebagai anak perempuan menuju dewasa dan susahnya menjadi perempuan, khususnya di era sekarang.
Tanpa bermaksud spoiler, film Kim Jiyoung ini bercerita tentang…
Seorang perempuan bernama Kim Jiyoung dan hidupnya yang struggle di banyak sisi. Dari kecil sampai dewasa, dia selalu dihadapkan dengan hal-hal yang berbau patriarki. Salah satu yang bikin aku KZL adalah, dia justru disalahkan ketika mengadu ke ayahnya karena takut saat ada cowok yang stalking sampai ke jalan rumahnya. Jiwa rebel-ku bergejolak. Di dalam bioskop, aku sampai menahan umpatan: Pak, itu anaknya lagi takut lho! Bukannya dipelukin malah dimarahin.
Tapi sesaat kemudian aku sadar, kalau hubungan Jiyoung dan ayahnya nggak begitu akrab. Sehingga sebuah pelukan mungkin terlalu mahal untuk hubungan ayah dan anak ini.
Dari Jiyoung kecil mari kita beranjak ke Jiyoung dewasa
Selepas punya anak, Jiyoung merelakan karirnya dan fokus mengurus, Ahyoung, anak perempuannya dengan Daehyun (diperankan oleh Gong Yoo). Namun masa-masa struggle ternyata masih terus datang meskipun suaminya seganteng Gong Yoo (halah). Mulai dari terlalu fokus mengurus rumah, anak, suami sehingga tak sempat mengurus diri sendiri, sampai perlakuan ibu mertua yang hmmm luar biasa. Karena hal-hal ini, tanpa disadari Jiyoung memiliki kepribadian ganda atau bipolar (CMIIW). Kepribadian ini membuat Daehyun sedih dan takut kehilangan Jiyoung. Dan di satu titik, Daehyun selalu berusaha meminta Jiyoung untuk konsultasi ke psikiater.
Credit by Lotte Entertainment |
Berkaca dari Jiyoung, aku jadi flashback ke orang-orang di sekitar
Sedikit bercerita, dulu ibuku termasuk insan yang menikah muda. Ia pernah bercerita betapa hampir gila menghadapi dunia. Saat itu usia ibuku (kurang lebih) 25 tahun, sudah punya dua anak (balita semua pula), bapakku syibuk bekerja dan sering keluar kota, tinggal serumah dengan mertua dan ibu juga seorang pekerja. Kombonya dobel-dobel. Sempat juga mendengarkan cerita kalau dulu ibu sempat kelepasan main fisik ke abang-abang saya.
Dulu saya berpikir ibu cukup pemarah. Tapi makin ke sini, saya makin sadar, bahwa marah bisa dipicu oleh lingkungan dan tekanan di dalamnya. Apalagi kala itu, ibuku dobel kombo dan dari banyak sisi mendapat tekanannya.
Dan yang sempat aku sesalkan sampai sekarang, adalah waktu kecil, aku pernah ngambek gara-gara ibu bekerja. Ibuku waktu itu nggak seperti ibu teman-teman yang lainnya, yang bisa mengantar jemput sekolah dan mengantar bekal makan siang. Dulu sempat nangis juga dan bilang: ibu kenapa sih nggak di rumah aja? Kenapa harus kerja?
Lalu bertahun-tahun kemudian, tepatnya setelah nonton film Milly dan Mamet ditambah baru kelar nonton Film Kim Jiyoung aku menyadari semua.
Bagi ibuku (dan mungkin juga sama dengan kamu, ibumu, kakakmu atau tantemu) bekerja itu lebih dari sekadar mencari pundi-pundi. Tapi juga me-time dan kesempatan untuk aktualisasi diri. Seorang ibu juga butuh waktu untuk berjeda dengan anak dan urusan rumah tangga.
Mungkin ini juga yang membuat ibuku melarang keras istri abangku untuk resign dari pekerjaannya sekarang, karena belum ketemu pengasuh di momen menjelang masuk kerja setelah 3 bulan cuti melahirkan.
Pesan untuk “tetap bekerja” juga yang kemudian aku pegang erat-erat. Bahkan aku masih begitu ingat runtutan isi pesan ibuku:
“Mbak, apapun yang terjadi, kamu harus tetap bekerja. Selain buat bantu suami, ibu bekerja juga punya pandangan dan cara berpikir yang berbeda. Capek itu pasti, tapi bekerja ini juga hak kamu lho.”
Tanpa bermaksud mendiskreditkan siapapun, saya mengamini pesan ibu yang satu ini.
Jadi dear siapa pun kamu yang kelak menjadi seorang suami…
Plis banget tontonlah film ini. Bukan, bukan. Aku bukan bagian dari tim marketing bioskop atau filmnya, tapi murni dari seorang perempuan yang tak ingin mengalami kejadian seperti Kim Jiyoung ini. Sebab depresi bagi perempuan (apalagi setelah) melahirkan itu nyata. Dan kita-kita para perempuan ini jelas butuh bantuan para suami meski diri ini pasti sudah berupaya untuk tetap bahagia.
Bekerja atau tidak bekerja, tolong berikanlah para istri untuk me-time dan menjadi sepenuhnya manusia. Bukan ngasih gaji trus berlaku seenaknya. Syukur-syukur malah bisa gantian me-time biar para suami juga happy dan jauh dari depresi.
Kalau menurutmu gimana? Susah nggak sih jadi perempuan di era sekarang ini, dimana segala tuntutan “harus ini, harus itu” selalu datang menghampiri?
Ditulis menjelang tengah malam,
Feature image by Lotte Entertainment