Jadi ini semua berawal di suatu akhir pekan yang biasa-biasa aja. Sambil rebahan dan scrolling Twitter (dalam keadaan belum mandi tentu saja), saya menemukan sebuah tweet yang bikin geregetan. Meski sukses dibikin geregetan, saya kepo dan buka siapa aja yang sudah me-reply tweet yang membawa embel-embel kursus pranikah tersebut. Ealah, lha kok salah satu aktivis gender, Tunggal Pawestri dan mantan Menteri Agama periode lalu, Lukman Hakim Syaifuddin, turut membalas juga.
Nih buat kamu yang penasaran, kayak gimana sih tweet yang bikin geregetan itu:
Kursus pranikah gue, kusut banget. Pematerinya sangat bangga akan libidonya yang meluap2 dan betapa mudahnya minta istri melayani dalam kondisi apapun dimanapun kayak sex machine. Mual banget nahan marah sepanjang sesi 🤬🤬 https://t.co/jV7TAKzpZK— 🍉 (@agritaw) February 22, 2020
Dari tweet tersebut, saya lalu membuka laman yang menjadi tautan quote retweetnya, dari Asumsi.co. Dalam artikel tersebut, dijelaskan bagaimana praktik kursus pranikah yang sungguh nggak banget. Kenapa saya sebut nggak banget? Soalnya dari dua pasangan yang menjadi narasumber, pemateri kursus pranikah mereka memberikan materi yang cenderung memojokkan perempuan sebagai seorang istri. Salah satu poin yang bikin saya ber-ckckck ria adalah, suami BEBHAS (sengaja pake H) untuk minta berhubungan seks dengan istri.
“Anda kan mau nikah, nih. Anda mau [berhubungan seks], nih. Dia [istri] nggak mau. Kalau gitu caranya gimana? Ceraikan ajalah.” —Dikutip dari Asumsi.co
Oh-hell-yeah! Hidup di zaman apa sih saya ini?
Ngomongin soal nikah, saya kadang jiper sendiri kalau ditanya, “Kapan, kapan dan kapan?”
Iya, iya, saya ngaku deh. Menikah adalah salah satu hal yang paling saya takutkan. Ya gimana, soalnya saya itu orangnya susah banget percaya sama orang. Apalagi kalau harus berbagi segala sesuatunya dengan “orang asing” yang mungkin belum saya kenal sepenuhnya. Baru bayangin tiap buka mata terus menjalani hidup bareng orang lain aja, saya udah jiper sendiri. Belum lagi segala drama yang bakal menyertai, duh belum siap deh saya meski umur udah lebih dari 25.
Itu baru soal diri ya. Belum lagi soal keuangan yang rasanya jauh dari kata “ready“. Mau nabung buat umrah atau nyisihin gaji buat investasi aja kok rasanya bueraaaat sekali. Apalagi buat membangun rumah tangga beserta rumahnya, dan biaya-biaya yang nanti ada waktu udah berdua. Iyaaa iyaaa, rezeki udah ada yang ngatur. TAPI HEY, kalau langsung tancap gas tanpa persiapan, apa nggak gegabah namanya?
Belum lagi di lingkup keluarga besar saya, kasus perceraian bisa dibilang cukup tinggi. Sayangnya beberapa di antara keluarga yang pisah ini, mayoritas adalah sepupu saya yang dulu menikah muda. Bahkan ada yang umurnya jauh di bawah saya, dan sekarang baru menjalani proses perpisahan 🙁 Realita kayak gini nih yang bikin saya makin menahan langkah untuk menikah. Ya selain belum ada calonnya juga sih lebih tepatnya~
Soal nikah, saya masih “nanti aja” tapi ibu, hm…jelas sudah kelihatan khawatirnya
Pernah suatu kali saya keceplosan menjawab saat ibu bertanya, “trus kamu kapan mau nikahnya? Inget lho, umur udah dua lima~”
Otak saya sih mau jawab, “Nanti aja deh, Ma.” tapi mulut saya justru melontarkan, “Nggak dulu deh, Ma.”
Ketidaksinkronan itu kontan saja membuat ibu saya sedikit ngengas. Berbagai nasihat keluar dan tentu saja kalimat pamungkas beliau menjadi penutupnya, “Sebagai umat Nabi, menikah itu penyempurna ibadah. Kamu harus nikah pokoknya.”
Dari segi umur (katanya) sudah waktunya, tapi melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini kok rasanya...
Selain kasus kursus pranikah yang pematerinya seksis dan cuman mikirin selangkangan doang, sampai adanya RUU Ketahanan Keluarga yang masya Allah-nya juga bikin geregetan, rasanya kok saya jadi (makin) takut menikah~
Ya gimana nggak (makin) takut nikah, kalau dari persiapan aja udah ngehe dan bikin ambyar logika. Udah gitu, kursus pranikah ini (menurut pengalaman dua kakak yang udah menikah) itu wajib karena sebagai syarat mengajukan ke KUA. Belum lagi persiapan diri, mental dan finansial yang hmmm kayaknya sih butuh waktu untuk bisa ke tahap “Oke nih, saya ready!”. Dan hey jangan lupa sama yang minggu lalu hits di dunia maya: beberapa pasal di RUU Ketahanan Keluarga yang hmmm nggak tahu deh gimana logika berpikirnya.
Kalau kamu gimana? Udah yakin nikah kah? Atau juga masuk barisan (makin) takut nikah karena hal-hal yang terjadi beberapa waktu belakangan?
Apapun jawabanmu, udah, belum atau nggak tahu mau jawab apa, yang penting jangan jadikan menikah sebagai pelampiasan dari suatu masalah. Karena menyerah dengan alasan ‘Mending Nikah Aja’ itu sama aja dengan membunuh dirimu sendiri.
Love,
Ps. Takut bukan berarti nggak ingin. Saya ingin menikah CUMANNNN nggak sekarang.
Feature image from Flora Westbook on Pexels
This perception of a woman directly affects your attitude to marriage. The concept causes some contradictions because of a misunderstanding of the main meaning of such a union
Hey, thanks for stoping by on my blog. So, what's your opinion abt marriage's concept and the thing called union? Let's discuss! 🙂