Beranda » Welcoming My New Past

Welcoming My New Past




“Selamat buka puasa!”
“Aw, makasih, Arga!”
“Oh iya, lusa abis aku ke gereja, jadi kan, kita?”
“Hah? Emang kita mau kemana?”

***



Jogjakarta. Orang-orang menyebutnya sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun bagiku, Jogja memang benar-benar istimewa. Mulai dari makanannya, budayanya, hingga orang-orang didalamnya. Termasuk Arga.


***

Aku memarkirkan mobil di salah satu sisi jalan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Seharusnya Arga sudah selesai untuk ibadah gereja, tapi dari puluhan jemaat gereja yang keluar dari gedung tua itu, tak satupun kulihat lak-laki dengan kacamata minus dan rambut gaya undercut itu di sana.

Tak lama, aku melihat lelaki idamanku itu keluar sambil berbincang dengan salah satu temannya. Mereka terlihat akrab sekali. Ah, Arga. Lihatlah betapa aku merasa damai hanya dengan melihatmu tersenyum.

“Nis, lama ya nunggunya? Tadi aku ketemu temen SMA. Dia baru balik dari Brooklyn.” Sapanya sambil mengambil alih kemudi.

“Oh, itu Jason yang kamu ceritain waktu itu?”

“Iya. Cepet banget kan, kuliahnya?”

***

Hari ini, aku menepati janjiku ke Arga untuk mengenalkannya pada Islam. Iya, Arga memang berbeda kepercayaan denganku, tapi kami sama-sama sepakat untuk tidak mempermasalahkan soal keyakinan.

Sambil menyesap secangkir Americano, aku memulai ceritaku tentang Nabi Adam, manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhanku. Kami layaknya tengah mendiskusikan sebuah permasalahan yang pelik. Aku dan Arga pun tak jarang terlibat dalam adu argumen.

“Masa cuma makan buah aja langsung dibuang ke bumi?”

“Bukan dibuang, Ga. Tapi Nabi Adam harus menerima konsekuensi atas tindakannya yang melanggar larangan Allah. Itu semua demi kebaikan Nabi Adam sendiri bersama Hawa,” terangku.

“Nggak ada toleransi?”

Aku menggeleng.

“Contoh kecilnya gini deh, praktikan kamu telat ngumpulin laporan resmi selama satu bulan. Trus dia tiba-tiba nyelonong buat ikut responsi. Sikap kamu gimana?”

“Wih, enak aja! Nggak aku bolehin lah,” tegasnya.

“Nah, itu adalah salah satu contoh kecil bahwa kita harus taat aturan. Aturan kan dibuat untuk kebaikan kita sendiri. Iya, nggak?”

Arga mengangguk pelan.

Dan begitulah, kami menghabiskan weekend dengan mengenalkan Arga tentang Islam.

***

“Mbak, saya pesen nasi kuning sambel goreng ati satu, sama es jeruk satu. Kamu mau makan apa, Nis?”

“Aku puasa, Ga. Udah kamu makan aja, aku temenin.”

Seketika mimik muka Arga berubah. Antara rasa bersalah dengan yah-nis-kok-nggak-bilang-kalo-puasa.

Bisa menebak apa yang terjadi?

Arga nggak jadi makan, tapi karena sudah terlanjur memesan makanan, akhirnya ia membungkus pesanannya dan memberikannya pada tukang sapu di kampus.

“Kamu kok hari ini puasa? Ini kan bukan hari Senin sama Kamis?” tanyanya heran.

“Aku puasa buat ngelunasin hutang puasa ramadhan, Ga. Tahun lalu aku bolong dua hari.”

“Hah?”

Dan kemudian, aku mulai menjelaskan mengapa seorang muslim wajib mengganti puasa ramadhannya.


***

Hari ini seperti biasa, aku menunggu Arga selesai ibadah gereja. Kali ini, aku yang penasaran dengan sejarah Santa Claus. Karena Arga belum sarapan, maka kami memutuskan untuk menuju salah satu tempat makan favorit kami, bubur ayam Cirebon.

Sambil menyantap semangkuk bubur ayam, Arga memulai ceritanya tentang bagaimana sosok Santa Claus itu selalu diidamkan oleh anak-anak saat Natal tiba.

“Jadi, kata Bapakku, dulu Santa itu orang tua dewasa yang dermawan. Dia bagi-bagiin hadiah ke anak-anak yang kurang mampu saat natal, biar mereka menyambut natal dengan sukacita. Waktu kecil, aku sih percaya-percaya aja. Malah dulu aku sempet nungguin kedatangan Santa sampe jam satu pagi. Soalnya penasaran, kayak gimana sih tampangnya Santa itu.”

“Jadi, Santa itu semacam dongeng ya?”

“Semacam itu.”

“Kamu tahu nggak siapa orang yang pertama kali jadi Santa itu?”

Nobody knows, dear.”

***

Aku dan Arga. Kami berbeda. Berbeda secara agama lebih tepatnya. Di luar itu, kami adalah dua orang yang mempunyai banyak kesamaan.

Aku dan Arga suka kopi, dan hampir setiap hari harus menyesap minuman penuh kafein itu.

Aku dan Arga benci dosen yang terlalu text book. Kami berpikir, memori manusia itu terbatas, jadi nggak akan bisa menghapal materi yang banyaknya nggak manusiawi itu.

Aku dan Arga sama-sama doyan makanan pedas. Bahkan kami selalu berlomba siapa yang berhasil menghabiskan ayam geprek cabe 21 tanpa minum. Dan, aku selalu kalah.

Aku dan Arga mempunyai nama depan dengan  huruf awalan yang sama. Syifa Khairunisa dan Stanislaus Argasaka.

Dan satu lagi, aku dan Arga sama-sama tidak mempunyai restu orangtua akan hubungan ini. Orangtua Arga menolak hubungannya denganku, begitu pula dengan kedua orangtuaku.

“Pokoknya, ibu nggak merestui kamu sama Arga. Kenapa sih, kamu nggak cari pasangan yang seiman aja?”

***

Pernah suatu kali aku menanyakan soal ini ke Arga.

“Ga, kayaknya kita harus putus. Ibu nggak merestui hubungan kita. Kamu nggak pa-pa, kan?”

“…”

“Ga?”

“Kamu masih nanya, aku nggak pa-pa? Nis, kita udah bahas ini, ya. Ribuan kali.”

“Tapi aku tetep nggak akan nikah tanpa restu dari Bapak-Ibuku. Kamu juga, kan?”

“Pasti ada jalan, Nis.”

“Nggak, Ga. Kecuali ada salah satu dari kita yang ngalah.”

Dan, kami semua ditelan diam.

***

Setelah itu, kami memutuskan untuk tidak membahas masalah itu lagi. Kami kemudian disibukkan dengan urusan kuliah, skripsi hingga wisuda. Arga yang lebih tua denganku dua tahun, kini sudah mendapatkan sebuah pekerjaan yang cukup mapan di salah satu perusahaan kelapa sawit. Sementara aku, yang dua bulan lalu baru saja wisuda, sudah dipinang oleh salah satu dosenku untuk menjadi asisten mengajar tetapnya di kampus.

Aku dan Arga masih sama. Kami masih menjalin hubungan, meskipun jarak jauh. Bahkan, pernah suatu kali Arga menyatakan niatnya untuk melamarku.

Di tahun ketujuh hubungan kami, restu kedua orangtua tidak juga didapatkan. Aku mulai lelah dan berniat untuk melepaskan Arga. Tapi sebaliknya, Arga tetap berusaha meyakinkanku bahwa pasti ada jalan untuk hubungan ini.

Sejujurnya, aku tidak mau melepaskan Arga. Dia adalah sosok idamanku sejak dulu, jauh sebelum aku masuk kuliah. Arga adalah kakak tingkatku sewaktu sekolah menengah atas dan berutungnya, kami dipertemukan lagi pada kampus yang sama, di fakultas yang sama.


***

Tahun kedelapan hubungan kami. Umur Arga sudah kepala tiga, dan aku sudah menyentuh angka dua puluh delapan. Miris. Kami tidak juga menemukan jalan untuk hubungan kami.

Ibuku sudah puluhan kali mengenalkan anak lelaki dari teman-teman karibnya kepadaku, dan selalu saja kutolak. Begitu pula dengan Arga. Ia bahkan dipaksa untuk blinddate dengan teman kakaknya yang berdomisili di Bandung.

***

Dua puluh satu April, tepat di hari ulang tahunku yang setahun lagi menginjak angka 30. Seperti biasa, Arga meluangkan sedikit waktunya untukku. Ia cuti kerja dan terbang dari Medan ke Jogja. Hanya. Untuk. Aku.

Seperti malam perayaan ulang tahun yang biasa kami lakukan, hanya makan malam di rumah makan favorit kami. Malam itu kebetulan sedang ada pertunjukkan akustik yang ditampilkan. Setelah kami selesai makan, Arga lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku, kemudian menghampiri para pemain band akustik dan terlibat dalam sebuah percakapan.


Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi…


Arga menyanyikan lagu itu dengan petikkan gitarnya yang selalu membuatku jatuh hati.

Dan dengan dilantunkannya lagu itu, hubungan kami berakhir. Bukan tanpa alasan, bukan tanpa pertimbangan.

Oh, Arga. Terima kasih atas delapan tahun yang indah ini. Terima kasih atas semua canda tawa dan cerita yang telah kau bagi denganku. Dan sebuah pelukan hangat ini, akan kuingat selalu bahwa kamu, Stanislaus Argasaka, pernah mengisi delapan tahun dari umurku.



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas