Judul: The Architecture of Love
Penulis: Ika Natassa
Tahun: 2016
Penerbit: Gramedia Pustaka
ISBN: 978-602-032-926-0
Jumlah halaman: 301
***
People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the little more. Its impossible not to fall in love with the city like its almost impossible not to fall in love in the city.
Setelah perceraiannya, Raia Risjad, seorang penulis berbakat seperti kehilangan muse menulisnya. Dan New York menjadi satu-satunya ‘pelarian’ Raia agar ia bisa mendapat suasana baru dan membantunya untuk menulis kembali.
New York agaknya menjadi spesial bagi Raia, karena di sana ia mampu kembali menghasilkan tulisan-tulisan yang telah lama ditunggu pembaca setianya. Meskipun sempat melalui waktu-waktu yang hanya ia habiskan menonton Youtube saja—tanpa menulis sepatah kata pun, Raia akhirnya mampu menyelesaikan karya terbarunya.
Central Park menjadi tempat di mana, Raia menemukan kembali muse menulisnya. Di sana, menjadi titik tolak Raia bersama dua bulannya dengan River—pria yang menemaninya menjelajahi setiap sudut kota New York. Pria yang kerap mengenakan kaus kaki berwarna hijau itu adalah seorang arsitekt, yang menjadikan New York sebagai ‘pelarian’ dari masa lalunya pula.
Dua orang itu menjadikan New York sebagai awal untuk menutup rapat pintu masa lalu masing-masing. Raia dengan perceraiannya yang menyakitkan. Dan River dengan kesalahan yang merenggut nyawa istrinya.
Dua orang dengan rasa sakit itu kemudian setuju, untuk sama-sama sembuh dan mencari obat bagi rasa sakitnya masing-masing. Obat yang akhirnya mereka tebus dengan nama…cinta.
***
Sebelumnyam saya menyebutkan bahwa novel Bristol menjadi salah satu novel 2016 yang harus difilmkan. Reviewnya bisa kamu baca di sini. Namun setelah membaca The Architecture of Love, saya bulatkan tekat bahwa novel ini juga harus difilmkan. Saya bukannya ingin melihat visualisasi River atau Raia—seperti kebanyakan orang, namun saya lebih tertarik bagaimana visualisasi dari setiap tempat yang mereka jelajahi berdua. Central Park, Public Library,Whispering Galery dan masih banyak lagi. Bagi saya, setiap tempat mempunyai ‘nyawa’ tersendiri dalam membangun kisah di novel ini.
Dengan membaca novel ini, saya jadi paham, bahwa obat berbagai macam penyakit yang berasal dari hati, adalah orang itu sendiri. Saya banyak belajar dari Raia, yang meskipun sempat kehilangan arah dalam menulis, ia melangkah maju untuk kembali mendapatkan ritme dalam menulis.
Dari River saya juga belajar, bahwa tenggelam dalam masa lalu itu syahdu, tapi hidup harus tetap maju. Dan River memilih menanggalkan kaus kaki hijaunya dan berusaha melepaskan masa lalunya, tanpa sedikitpun melupakan. Ternyata, cowok kalau galau seperti itu…
Well, River…Raia…terima kasih telah membagikan kisah kalian. Kisah seru dan syahdu di sudut-sudut New York yang mungkin hanya saya hafal Madison Avenue-nya itu.
Yang paling penting, novel ini bebas typo. Sehingga membuat pembaca yang riwil—seperti saya, jadi sepenuhnya fokus ke dalam cerita. Tenggelam dengan kisah-kisah River dan Raia.
Saya sempat merutuki diri saya karena tanpa sadar, saya sudah menghabiskan kisah mereka berdua hanya dengan sekali duduk. Ah, kenapa sih cepat habis? Padahal novel ini tidak bisa dibilang tipis juga kan…
Hanya, saya ada satu pertanyaan. Agak terganggu juga dengan penulisan judul novel yang tidak menggunakan huruf kapital sama sekali. Apakah memang konsepnya seperti itu? Tapi menurut saya, akan lebih ciamik lagi jika penulisan judul diawali dengan huruf kapital.
The Architecture of Love
Selamat membaca! Selamat menikmati New York!
Udah lama nih gak baca buku beliau. Dulu sih suka. Nyari bukunya ah. Tfs untuk reviewnya. 🙂
Selamat berburu Mbak Nia. Dijamin bakal dibawa jalan-jalan ke New York sama River dan Raia :))