Penulis: Sili Suli & Hurri Hasan
Penerbit: Arti Bumi Intaran
Tahun terbit: 2020
Tebal halaman: 370 hal.
“…bakti sosial di Jeneponto seolah telah membuka mata kepala, mata hati dan mata batinnya mengenai penderitaan orang lain.” –hal.36
Tahun 2016 yang lalu, saya menonton sebuah drama Korea berjudul Descendant of The Sun. Drama Korea ini menceritakan tentang perjalanan tim medis di daerah konflik perang lengkap dengan jatuh bangunnya. Selain akting para aktornya yang menawan (ada Song Joongki, Song Hyekyo dan yang lainnya), konflik dan bagaimana sigapnya tim medis serta pasukan tentara membantu para korban adalah dua hal yang masih teringat jelas di ingatan.
Tiga tahun setelahnya, saya menonton sebuah film perang berjudul 1917. Bom, peluru nyasar hingga mayat-mayat berserakan menjadi hal-hal yang sampai sekarang susaaah sekali saya lupakan.
Ah, drama Korea sama film ini. Pasti ada unsur dramatisasti. Pantaslah kalau adegan penuh darah itu masih terngiang di pikiran, pikir saya saat itu.
Hei, ternyata saya salah besar. Konflik, bencana, nyawa manusia yang seakan tak ada harganya sampai tim medis yang berjibaku menolong korban, benar-benar terjadi di dunia nyata. Bahkan terjadi di sekitar saya.
Suasana mencekam ini saya rasakan ketika membaca biografi Prof. Idrus Paturusi, salah seorang dokter orthopedi terbaik di Indonesia.
***
Sebelumnya, saya hanya mengetahui sekilas tentang Prof. Idrus, yaitu saat membaca berita tentang beliau yang terkena COVID-19 beberapa waktu lalu. Informasi yang saya tahu saat itu sebatas Prof. Idrus ini merupakan mantan rektor UNHAS yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Namun setelah menamatkan biografi beliau ini, ternyata seorang Idrus Paturusi lebih dari sekadar seorang mantan rektor dan dokter biasa. Menurut saya, Idrus Paturusi adalah bagian dari sejarah bangsa. Serius, ini nggak bermaksud perez atau apa, tapi menyelami perjalanan Idrus Paturusi dari masa sekolah hingga menjadi ketua Tim Medis pada tugas kemanusiaan saat terjadi bencana di berbagai wilayah Indonesia, itu bikin saya merinding. Nggak salah memang jika judul biografi kali ini adalah “Dokter di Medan Lara”.
Ada beberapa bagian yang sangat saya sukai pada buku biografi Prof. Idrus ini. Pertama, hadirnya foto-foto di setiap halamannya. Mulai dari saat Prof. Idrus kecil hingga saat beliau terjun langsung ke lapangan dan menjalani tugas kemanusiaan. Jujur, beberapa foto sempat membuat saya menitikkan air mata saking terbawa trenyuhnya suasana operasi di tengah fasilitas minim di daerah konflik.
Dok. pribadi |
Kedua, saya menyukai bagaimana penulis menggambarkan situasi genting di dalamnya, sehingga membuat pembaca (saya terutama) ikut merasakan pressure tersebut. Salah satunya adalah saat Prof. Idrus dan teman-teman harus menyambung bagian tubuh mayat yang sudah terpotong-potong. Sumpah, bagian ini membuat saya takut, ngeri tapi tak ingin melewatkan kalimat-kalimat di dalamnya.
Ketiga (ini nih yang bikin saya menangis sepanjang bab), adalah ketika Prof. Idrus bertugas di Aceh setelah bencana gempa bumi dan tsunami. Penjabaran betapa hancurnya keadaan Aceh saat itu, ditambah lagi dengan foto-foto di dalamnya membuat saya memutar memori masa kecil. Kebetulan, pada saat bencana itu terjadi saya berumur 10 tahun dan merasa trenyuh di kala hampir semua tayangan televisi menayangkan keadaan Aceh yang luluh lantak. Untungnya saat saya membaca bab ini, nggak ada yang memutar lagu Ebiet G. Ade – Berita Kepada Kawan. Kalau iya, saya yakin tangisan saya akan semakin kencang huhuhu.
Dok. pribadi |
Padahal pada bab selanjutnya, diceritakan perjalanan Prof. Idrus menolong korban gempa di Yogyakarta, yang notabene dulu saya rasakan langsung pada tahun 2006. Namun tetap saja, bab bencana di Aceh adalah bab paling “bawang bombay” di sana.
Selain itu, biografi Prof. Idrus A. Paturusi ini bisa dibilang cukup lengkap. Mulai dari kisah masa kecil hingga perjalanannya membantu sesama ketika terjadi bencana. Namun ada satu hal yang bikin saya pribadi penasaran, yaitu kisah bagaimana Prof. Idrus bertemu dengan istrinya, Dra. Rushanti A. Beso. Mungkin jika ditambahkan satu bab khusus yang membahas kisah Prof. Idrus ketika bertemu istrinya, akan membuat biografi ini semakin lengkap dan greget. Sebab saya percaya, di balik sosok hebat Prof. Idrus, pasti ada peran besar sang istri, bukan?
***
Satu pesan yang saya dapat ketika membaca biografi Prof. Idrus Paturusi ini adalah pendidikan memang hal utama, tapi hidup kurang lengkap jika tak “sedikit” nakal dan berbakti untuk sesama. Ini pula yang dulu saat kuliah coba saya terapkan, bahkan sampai sekarang.
Gimana, kamu pasti udah nggak sabar kan membaca biografi Prof. Idrus ini?
Namun mohon maaf sekaliiii, sepertinya buku biografi Prof. Idrus ini tidak diperjualbelikan. Untuk itu, menjadi sebuah kehormatan bagi saya ketika mendapat kesempatan untuk membaca secara langsung buku biografi Prof. Idrus ini.
Oh iya, saat ulasan ini dituliskan ada sebuah kabar bahagia dari Prof. Idrus. Dilansir dari laman Tagar.id, Prof. Idrus yang awal April lalu dikabarkan positif COVID-19, sekarang dinyatakan sembuh.
Last but not least, semoga ulasan ini turut membuka hati kita semua, untuk selalu membantu sesama. Apalagi di tengah wabah kali ini. Sekecil apapun bantuan yang bisa kita beri, semoga bisa mengurangi penderitaan orang lain.
Stay safe selalu, jangan lupa rajin cuci tangan ya!
Maturnuwun reviewnya Mbak Arintya. Jaga kesehatan dan sukses selalu
KEREN