Beranda » Critical Eleven – Sebelas Menit Yang Bikin Jatuh Cinta

Critical Eleven – Sebelas Menit Yang Bikin Jatuh Cinta

Menit itu aku bertemu dia.

Dia sedang serius menunduk membaca
buku waktu aku tiba di sisi tempat duduknya.—hal.7


***

Blurb Dalam
dunia penerbangan, dikenal istilah critical
eleven
, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistic delapan
puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas
menit itu. It’s when aircraft is most
vulnerable to any danger
.
In a way, it’s kinda the same with
meeting people
. Tiga menit pertama kritis sifatnya
karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum
berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang
tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru
menjadi perpisahan.
Ale
dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit
pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan
saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah
Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini,
lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi
besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan mereka ambil, termasuk
keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka. 
Diceritakan bergantian dari sudut
pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan
puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci
pada karakter-karakternya, atau justru keduanya
.

*** 

Saya
bertemu secara “tidak sengaja” dengan Anya dan Ale di buku Antologi Autumn Once
More yang saya beli bertepatan dengan tanggal cantik, 11 Desember 2013 lalu.
Saya ingat betul, pada saat itu, saya sedang mengalami random mood, sehingga harus mencari pelarian—buku. Ketika saya
melihat nama Ika Natassa di sampulnya yang merah merona itu, saya langsung
meminang dan membawanya pulang.

Critical Eleven.


Saya
kira, saya akan dihadapkan pada kehidupan banker—karena novel-novel penulis
sebelumnya bercerita tentang bankir, eh, ternyata malah jauh dari kehidupan
bankir, yang nggak kalah kerennya. 
Saya disuguhkan dengan cerita pendek yang
bikin saya gemas. Kenapa? Karena Anya dikisahkan dalam perjalanan
Jakarta-Sydney dengan seseorang di sebelahnya. Seseorang yang menyukai Jakarta,
mulai dari macetnya, banjirnya, polusinya dan segepok masalah yang masih ada di
dalamnya—Ale. 
Mereka terlibat obrolan seru. Sampai pada suatu titik, Anya
kembali mengingat Ale, saat lelaki penghuni rig itu sudah tidak duduk di
sampingnya.

Gemas
nggak sih?

Saya
berasa naik pesawat dengan take off
paling mulus, dengan tempat duduk paling nyaman, lalu saya dihempaskan kembali
ke tanah, dengan keras sehingga membuat saya berpengangan pada kursi saking
takutnya kehilangan momen menyenangkan tadi.

Nggak
rela! Anya-Ale udahan gitu aja.

Saat
itu saya rasa harus ada lanjutan dari cerpen yang turut serta menyelamatkan
saya dari random mood tersebut. It would be awesome jika penulis
melanjutkan kisah Anya-Ale, dengan apapun yang terjadi di antara mereka.

Dua
tahun tanpa kabar, saya pun terlena dengan cerita lain yang dikisahkan penulis.
Kisah Alex-Beno dan si kecil Arga benar-benar mengesampingkan kisah Anya-Ale di
pikiran saya. Ah, emang dasarnya penulis ini udah jago memainkan perasaan saya.
Saya pun jatuh cinta dengan kisah-kisah yang penulis lahirkan ke dunia.

Setelah
euforia kelahiran Arga pada novel sebelumnya—Twivortiare dan Twivortiare 2,
penulis kembali menghadirkan kisah Anya-Ale. Ah, betapa saya ingin kembali
menyelami kehidupan mereka setelah critical
eleven
yang mereka alami dua tahun lalu. Tapi, memang agak susah untuk segera
kembali bertemu dengan Anya-Ale, karena saya tidak mendapat kesempatan untuk
ikut pre order yang hanya berlangsung selama sebelas menit itu.

Kurang
gila apa coba pre order buku tutup kuota hanya dalam sebelas menit? Saya gemas
untuk yang kedua kalinya pada Critical Eleven.

***

“Memory isa great servant, but
really bad monster.”—hal.20


Kisah
Anya-Ale diawali dengan apik dan manis. Penulis membawa saya terbuai dengan
ingatan-ingatan Anya saat bersama Ale. Makan di Ketoprak Ciragil hingga ciuman
pertama mereka di mobil. Namun di balik ingatan manis itu, ternyata Anya
menyimpan sebuah luka yang bahkan sampai saat ini masih menyakitkan kalau
diingat. Luka itu disampaikan Anya dengan caranya menyebut nama lengkap
Ale—Aldebaran Risjad pada setiap ia membongkar ingatannya.

Critical
Eleven ini tidak melulu berkutat dengan kehidupan Anya-Ale. Penulis menjaga mood baca saya dengan cara menyisipkan
karakter-karakter pendukung yang membuat saya mati penasaran.

Siapa
lagi kalau bukan Harris Risjad!

Kehadiran
Harris Risjad mampu membuat saya geleng kepala. Ada aja tingkahnya yang di luar
dugaan. Seperti yang ia lakukan untuk membawa “kabur” Ale untuk bachelor party. Ia membuat seluruh
keluarganya panik karena Ale terlambat bangun untuk acara akad nikah. Parahnya
lagi, ia pulang dalam keadaan mabuk. Kalau kata Keara, “Harris ah!”

“Pesenin si Harris kopi yang
banyak. Sama kasih aspirin, Sa. Mabok dia.”—Ale (hal. 293)


Tidak
kalah serunya dengan Harris, ada Raisa dan Nino yang selalu menyelamatkan Ale
dari bosannya masa libur di Jakarta. Seperti pada saat Raisa menitipkan Nino
pada Ale. Mereka berdua terlihat asyik saat “jajan” di Kidzania.

“Om, boleh berapa?”—Nino
“Tiga aja, ya.”—Ale
“Asiiik!”—Nino(hal. 102)


Dan
yang terakhir adalah Paul Hutagalung. Anak Medan itu memang Batak kali!
Percakapan Paul dan Ale mengenai rancangan rumah Ale juga tidak kalah seru. Apalagi
saat Ale mengatakan, “Muncung kau ya, Ul.” Saya sempat curiga, jangan-jangan
Paul ini merupakan sahabat sekaligus rekan kerja River pada novel The
Architecture of Love juga?

Eits,
hampir lupa.
Ternyata
penulis memberikan saya “kejutan” lagi dengan menghadirkan sosok dewa penolong
Ale saat ia kejatuhan palang parkir hingga harus masuk rumah sakit.

“Eh, jangan, Abang lagi bobok,
Ga.”—Hal. 281


“…Untung tadi yang ada di parkiran
juga, dokter ternyata, sama istri dan anaknya, mereka yang langsung bawa Ale ke
sini.”—Hal. 296


Om
Bulu! *pingsan*

***

Dari
keseluruhan adegan, ada 11 hal yang membuat saya ingin segera menikmati
Critical Eleven dalam bentuk audio-visual di layar lebar. Kesebelas hal
tersebut saya sebut dalam 11 Critical
Situations That I Loved The Most
. Mengapa saya menyebutnya Critical
Situations? Karena pada saat membaca adegan-adegan tersebut, saya pelan-pelan
meresapinya. Bahkan ada beberapa yang saya baca beruang-ulang. Kadang saya
menahan haru, kadang nggak bisa menahan tawa, kadang juga saya dihinggapi rasa
penaran.

11
Critical Situations That I Loved The Most bisa dilihat dalam gambar di bawah
ini.
Penulis
juga nggak tanggung-tanggung dalam menciptakan “anak” berupa kisah Anya dan Ale
ini. Penulis bahkan mendesain sendiri covernya. Cover dengan gambar pesawat
yang didominasi warna biru yang adem di mata ini, membuat siapa aja nggak malu
untuk nenteng novel ini kemana-mana. Mau cewek atau cowok, hajar lah!

 


***

Buat
saya, novel ini nggak hanya sekedar kisah rumah tangga Anya dan Ale yang
diawali dari sebuah pertemuan di pesawat. Lebih dari itu, novel ini memberi
saya banyak ilmu. Saya akui, riset penulis bener-bener jempolan. Segala
informasi baru saya dapatkan di sela-sela kehidupan Anya dan Ale. Informasi
mengenai ingatan, pemindahan ingatan dari amygdala ke hippocampus, KPI (Key Performance Indicator) hingga finish line saat berduka pada dunia
psikologi.

Ada
satu kutipan dari Ale yang menurut saya, harus
dibaca oleh setiap laki-laki. Nggak hanya dibaca, tapi juga wajib diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari berasa Undang-Undang aja.

Sewaktu gue berani mengucapkan ijab
Kabul, sejak itu pula gue sendiri yang harus berusaha sebisa yang gue mampu
bahkan lebih untuk membuat dia bahagia, bagaimanapun caranya.—Ale, hal. 317


Terakhir,
kisah Anya-Ale ini membuat saya sadar. Bahwa goals dari sebuah hubungan bukanlah sebuah pernikahan, melainkan
bagaimana kita bisa mempertahankan pernikahan dan membahagiakan pasangan
masing-masing hingga akhir hayat.

Orang yang membuat kita paling
terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita.—Hal. 252

Selamat
menikmati kisah Anya dan Ale!
Rate: 4/5
Love,

0 komentar di “Critical Eleven – Sebelas Menit Yang Bikin Jatuh Cinta

  1. Karya Ika Natasha baru satu yg aku baca, yg antologi rasa. Seru ceritanya, tapi mungkin bahasa yang dipakai karakternya nggak terlalu sreg buat aku.
    ngebaca ini jadi pengen baca buku mbak Ika yang lain deh hehe.

  2. Critical Eleven inii salah satuu novel favoritt saya mbak 😀
    Udah lama banget baca novel ini, jadi kangen mau baca lagi. hehehe

    Thank you buat reviewnya yang ciamik 😀

    Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita – Cocok buat penutup 2016 nih sesuai dengan kondisi hati #kokjadicurhat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas