Tahun 2020 berjalan dengan sesuatu sekali. Di tahun itu, aku bertemu dengan beberapa hal yang melelahkan. Overthinking dan makin nggak enakan adalah salah satunya. Namun saat bertemu, aku sepertinya belum terlalu mengenal mereka. Bahkan sampai saat ini, aku selalu kepayahan sendiri saat mereka datang tanpa permisi.
Apalagi ketika pandemi datang, overthinking juga (semakin) merangsek masuk, merusak ritme hidup yang dulu sudah hampir menyentuh kata nyaman. Pikirku, mungkin ini salah satu cara Tuhan agar aku tidak terlalu lama tenggelam di zona nyaman. Namun sepertinya aku belum punya banyak persiapan. Saat dia datang–selain pikiran yang bercabang kemana-mana–aku juga kehilangan keberanian. Aku tidak berani memulai sesuatu, mulai dari tak berani memulai percakapan sampai tak berani bercerita tentang apa yang penuh di pikiran. Sampai di satu titik, aku merasa, “Kok hidup tega ya? Teman-temanku juga pada kemana saat aku mengalami mood swing parah: menangis, tertawa-tawa sampai nanti bisa marah-marah karena entah kecewa akan apa.”
Padahal hidup dan teman-temanku nggak salah juga. Hidup memang sejatinya seperti itu. Ia hanya berjalan sesuai dengan skenario-Nya. Aku, sebagai pemeran utama di alur cerita hidupku, yang harusnya pintar-pintar melakoni perannya. Sementara teman-teman, heyyy, mereka kan nggak selalu standby 24 jam untukku. Mereka juga punya kehidupan, atau mungkin struggle yang sama denganmu dan tak pernah diceritakan.
Oke, tapi ada satu lagi yang membuatku overthinking parah dan kehilangan arah. Dia adalah pekerjaan. Bukan, bukan menulis, membuat podcast atau mengkhayal. Namun yang satunya. Jujur, aku berterima kasih sudah diberi kesempatan untuk banyak mencoba, tapi bolehkah aku fokus untuk satu hal saja? Tidak seperti sekarang, 3 hal sekaligus harus kujejalkan ke diri dan pelan-pelan menguras bahagia. Lagi-lagi ini mungkin karena aku orangnya nggak enakan. Berusaha mengiyakan setiap hal, padahal untuk bernapas saja sudah tersengal.
Ingin rasanya mengakhiri ini sejak lama. Ingin sekali mencoba mengakhiri dengan bahagia. Namun aku belum begitu berani. Apalagi sekarang, aku cuma punya ini untuk pegangan.
Namun (lagi) di sisi lain diriku sudah berteriak tidak kuat. Mau sampai kapan terpaksa dan tidak bahagia? Mau sampai kapan meladeni overthinking yang berujung migrain dan mual? Mau sampai kapan juga takut membuka Whatsapp? Mau sampai kapan takut membuka email pekerjaan?
Bun, semua ini mungkin belum bisa kutemukan jawabannya sekarang. Namun izinkan aku pencari orang lain untuk mencurahkan. Izinkan aku mencari pertolongan. Sebab lelah sekali memikirkan hal-hal yang belum terjadi dan berakhir menangis sendiri. Sebab lelah sekali selalu terbangun tengah malam dan merasa ketakutan menyambut esok hari.
Dari aku,
…yang masih bingung mengarahkan langkahku.
*judul tulisan ini terinspirasi dari penggalan lirik lagu Nadin Amizah – Bertaut.